JAKARTA – Upaya transisi energi untuk menekan dampak gas rumah kaca maupun emisi karbon masih memerlukan sejumlah regulasi penting agar target yang telah ditetapkan bisa berjalan optimal.Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto menilai, penyiapan regulasi pendukung perlu terus digodok untuk mendukung target karbon netral pada 2060. Sejumlah regulasi tersebut, yakni Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT), Peraturan Presiden (Perpres) mengenai tarif pembelian tenaga listrik dari EBT, hingga peraturan menteri berupa kemudahan perizinan untuk pengembangan energi bersih.Djoko menuturkan, RUU tentang EBT telah mulai digodok pemerintah sejak 2019. Namun, pengesahan rancangan beleid itu masih belum jelas. Selain itu, Perpres tentang tarif pembelian listrik bersumber dari EBT juga belum diketok palu. Padahal, sebelumnya beleid tersebut dijanjikan akan terbit pada awal Mei 2021.
“Transisi energi sangat krusial, terutama untuk menjaga ketahanan energi dan keberlanjutan penyediaan energi di masa mendatang,” katanya saat webinar transisi energi net zero emission, Senin (27/9/2021). Menurutnya, strategi transisi energi secara bertahap dan terukur perlu dilakukan, mengingat energi fosil masih diperlukan sebagai transisi energi meski cadangannya terus berkurang. Pihaknya juga mendorong penggunaan energi bersih pada pembangkit fosil. Salah satunya adalah dengan penerapan teknologi carbon capture and storage (CCS) dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS). Selama ini, pemerintah telah menetapkan sejumlah agenda percepatan pemanfaatan pembangkit listrik berbasis EBT. Beberapa di antaranya dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan bahan bakar nabati. Kemudian juga meningkatkan pemanfaatan panel surya di lahan bekas tambang, atap bangunan, waduk maupun danau, optimalisasi potensi tenaga air (hidro), dan panas bumi atau geothermal. Terakhir, adalah pemanfaatan biomassa untuk co-firing batu bara, serta percepatan implementasi kompor dan kendaraan listrik. Penambahan regulasi juga diyakini akan memperkuat komitmen pemerintah pada energi bersih. Selama ini, kata dia, bauran energi primer Indonesia masih didominasi oleh energi fosil. Kementerian ESDM mencatat, 38 persen bauran energi Indonesia masih menggunakan batu bara, 31,6 persen minyak bumi, 19,2 persen gas alam, dan 11,2 persen menggunakan EBT. Djoko menyebut, dominasi penggunaan energi fosil menghasilkan 638 juta ton emisi karbon pada 2019. Angka itu menurun pada 2020, yakni 579 juta ton emisi. Penurunan tersebut, menurutnya, diakibatkan kondisi pandemi Covid-19. Pasalnya, wabah secara tidak langsung mengurangi mobilitas masyarakat, serta kegiatan di sektor industri dan komersial. Adapun penyumbang emisi terbesar berasal dari sektor pembangkit listrik dengan porsi 48 persen, sektor transportasi 23 persen, dan industri sebesar 17 persen. “Penurunan emisi dari kegiatan mitigasi pada 2020 mencapai 64,4 juta ton CO2 yang sebagian besar berasal dari penggunaan pembangkit EBT, biodiesel, dan efisiensi energi,” katanya. Sementara itu, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto menyebutkan bahwa upaya menurunkan emisi karbon telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. “Ini menjadi RPJMN hijau pertama di Indonesia yang secara eksplisit mengintegrasikan aspek lingkungan hidup dan perubahan iklim secara spesifik jadi salah satu program prioritas nasional,” katanya.
ekonomi.bisnis.com/read/20210927/44/1447296/
optimalisasi-transisi-energi-masih-butuh-regulasi-pendukung.